Monday 27 December 2010

Radiologi - Atresia Bilier

             REFERAT

ATRESIA BILIER

Pembimbing: Dr. Utami Purbasari, sp.Rad
Disusun oleh : Nur Rashidah bt Mohd Rashid
NIM: 030.04.269



KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI
PERIODE 2 NOVEMBER 2009 – 5 DISEMBER 2009
RSUP FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
NOVEMBER 2009     


BAB I


PENDAHULUAN
                                                                                                                                           


Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia bilier.

Atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu (7
                                                                                                                                           
Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan 
bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 36% (1)
                                                                                                                                             
 Oleh karena itu diagnosis atresia bilier harus ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu.

ANATOMI KANDUNG EMPEDU
Empedu mengalir dari hati melalui duktus hepatikus kiri dan kanan, yang selanjutnya bergabung membentuk duktus hepatikus umum.Saluran ini kemudian bergabung dengan sebuah saluran yang berasal dari kandung empedu (duktus sistikus) untuk membentuk saluran empedu umum. (6)
Duktus pankreatikus bergabung dengan saluran empedu umum dan masuk ke dalam duodenum. Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan. (6)
                                                                                                                                                                       
FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU
Empedu memiliki 2 fungsi penting: (6)
- Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
- Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

Secara spesifik empedu berperan dalam berbagai proses berikut (6)
- Garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan
- Garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya
- Bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan
- Obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh
- Berbagai protein yang berperan dalam fungsi empedu dibuang di dalam empedu.


Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik.Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja.

BAB II
ATRESIA BILIER

DEFINISI


Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus. 
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal.


ANGKA KEJADIAN

             Insidens atresia biller adalah 1/10.000 sampai 1/14.000 kelahiran hidup. (1). Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki.(1,4 : 1,5). Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika (1,5%) (4).
.
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
                                                                                                                                       
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan 
bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 10 ­ 30% kasus atresia bilier (7). Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi. (1)
                                                                                                                                               
Patofisiologi atresia bilier juga belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan gambaran
histopatologik, diketahui bahwa atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan
yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami kerusakan secara progresif. Pada keadaan lanjut proses inflamasi menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan mengalami kerusakan yang progresif pula (1).

Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut (1)
(Gambar 1) :
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya normal.

IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obli-
terasi, sampai ke hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia
bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II (7).
.
MANIFESTASI KLINI
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal adalah ikterus btinja akolik, dan urin yang berwarna gelap (2). Namun, tidak ada satu pun gejala atau tanda klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3 ­ 5. Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik (3). Sehubungan dengan itu sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila selama beberapa hari ketiga porsi tinja tctap akolik, maka kemungkinan besar diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul berfluktuasi pada pcmcriksaan tinja 3 porsi.(3,4)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan untuk
membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan
dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan : (7)
1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati (darah, urin, tinja);
2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati;
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier.


1) Pemeriksaan laboratorium

a) Pemeriksaan rutin
                                                                                                                                               
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Sclain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT> 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT< 5 kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rcndah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier (9). Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan
alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier (3).

b) Pemeriksaan khusus
                                                                                                                                               
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif,
tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Karena kadar bilirubin dalam empedu hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier. (5,7)

2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
DiagnostikUSG 77% dan dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase,
yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum (7).

b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m mempunyai 
akurasi diagnostik sebesar 98,4% (9).

c) Pemeriksaan kolangiografi

Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreaticography) merupakan
upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier. (13)
                                                                                                                                               
Selain ERCP, pemeriksaan MRCP (Magnetic resonance cholangiopancreatography)
sudah banyak digunakan memandangkan penggunaannya kurang invasif dibanding dengan ERCP.(13)

3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di
tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95% (1), sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100 ­ 200 u atau 150 ­ 400 u maka aliran empedu dapat terjadi (7,12).
Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi
bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan
biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu.
Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu. (11,12)

DIAGNOSIS
   Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna tinja, umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar .(7,11)
.
DIAGNOSIS BANDING
 Diagnosis banding kolestasis pada bayi adalah : (12)
1. KELAINAN EKSTRAHEPATIK
A. Atresia bilier
B. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
C. Perforasi spontan duktus bilier
D. Massa (neoplasma, batu)
E. Inspissated bile syndrome

II. KELAINAN INTRAHEPATIK
A. Idiopatik
1) Hepatitis neonatal idiopatik
2) Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain :
a) Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)
b) Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)
c) Intrahepatic bile duct paucity

B. Anatomik (12)
1) Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantile (pada hati dan ginjal)
2) Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik).

C. Kelainan metabolisme
1) Kelainan metabolisme asam amino: tyrosinemia
2) Kelainan metabolisme lipid: penyakit Wolman, Niemann-Pick dan Gaucher
3) Kelainan metabolisme karbohidrat: galaktosemia, fruktosemia, glikogenosis IV
4) Kelainan metabolisme asam empedu
5) Penyakit metabolik tidak khan, antara lain: defisiensi alfa- 1-antitripsin, fibrosis kistik,  hipopituitarisme idiopatik, hipotiroidisme

D. Hepatitis (11,12)
1) Infeksi (hepatitis pada neonatus), antara lain: TORCH, virus hepatitis B, Reovirus tipe 3
2) Toksik: kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis

E. Genetik atau kromosomal: Trisomi E, Sindrom Down, Sindrom Donahue (11)

F. Lain-lain: Histiositosis X, renjatan atau hipoperfusi, (12)
obstruksi intestinal, sindrom polisplenia, lupus neonatal.

TATALAKSANA
 Selama evaluasi, pasien dapat diberi :
A) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk : (7,12)
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan :
·         ­Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATP­ase (menginduksi aliran empedu).
·         ­Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder (8)

2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
­
Asam ursodeoksikolat, 3­10 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik (21)

B) Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu : (7)
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.

C) Terapi bedah
Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, laparatomi eksplorasi dianjurkan pada keadaan sebagai berikut: (5,11)
1.Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison selama 5 hari.
2.Gamma-GT meningkat > 5 kali
3.Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin
4.Pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke usus.

Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera dilakukan intervensi bedah portoenterostomi terhadap atresia bilier yang correctable yaitu tipe I dan II(1)
 Pada atresia bilier yang non-correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi
eksplorasi untuk menentukan patensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten, maka dilakukan operasi Kasai. Tetapi
meskipun tidak ada duktus bilier yang paten, tetap dikerjakan operasi Kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan trans-
plantasi hati (tujuan jangka panjang) (4,5)
Ada peneliti yang menyatakan adanya kasus-kasus atresia bilier tipe III dengan keber-
hasilan hidup > 10 tahun setelah menjalani operasi Kasai. (5)

Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap penderita :
1.Atresia bilier tipe III yang telah mengalami sirosis
2.Kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh kembang yang sangat terhambat
3.Pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil memperbaiki aliran empedu
.
PROGNOSIS
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71­86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34­43,6%. (4) Bila operasi Kasai dilakukan pada usia 1­60 hari, 61­70 hari, 71­90 hari dan > 90 hari, maka
masing-masing akan memberikan keberhasilan hidup > 10 tahun sebesar 73%, 35%, 23%, dan
11%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10%  dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam (1). Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan
operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi pcnyulit hipertensi portal (1).

BAB III

PRINSIP DAN GAMBARAN RADIOLOGIS PADA ATRESIA BILIARIS

1.         USG (Ultrasonografi) (14)
Ultrasonografi medis (sonografi) adalah sebuah teknik diagnostik pencitraan menggunakan gelombang suara yang digunakan untuk mencitrakan organ internal dan otot, ukuran, struktur, dan luka patologi, membuat teknik ini berguna untuk memeriksa organ. Sonografi obstetrik biasa digunakan ketika masa kehamilan.
Pilihan frekuensi menentukan resolusi gambar dan penembusan ke dalam tubuh pasien. Diagnostik sonografi umumnya beroperasi pada frekuensi dari 2 sampai 13 megahertz.
Sedangkan dalam fisika istilah "suara ultra" termasuk ke seluruh energi akustik dengan sebuah frekuensi di atas pendengaran manusia (20.000 Hertz), penggunaan umumnya dalam penggambaran medis melibatkan sekelompok frekuensi yang ratusan kali lebih tinggi.
Ultrasonografi atau yang lebih dikenal dengan singkatan USG digunakan luas dalam medis. Pelaksanaan prosedur diagnosis atau terapi dapat dilakukan dengan bantuan ultrasonografi (misalnya untuk biopsi atau pengeluaran cairan). Biasanya menggunakan probe yang digenggam yang diletakkan di atas pasien dan digerakkan: gel berair memastikan penyerasian antara pasien dan probe.
Diagnostik atresia biliaris melalui USG mencapai 77% dan dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier (9). Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I/distal.

Gambar 1.a

Gambar 1.b

Gambar 1.c
1.Potongan longitudinal sonogram dengan transducer 13.5 MHz. (10)
(a)   Kandung empedu yang normal pada bayi umur 5 minggu dengan bentuk yang normal dan dinding reguler.
(b)   Kandung empedu yang kecil dan abnormal (panah) pada bayi umur 8 minggu yang menderita atresia biliaris dengan dinding yang irreguler dan bentuk yang tidak normal.
(c)    Kandung empedu yang abnormal pada bayi umut 10 minggu dengan atresia biliaris. Terlihat dinding yang irregular (panah).

Gambar 2.a

Gambar 2.b

Gambar 2.c

Gambar 2.d

Gambar 2.e
2a-2e. Gambaran diagnostik Atresia Biliaris pada USG dengan menggunakan Triangular Cord Sign Versus Gallbladder Length and Contraction (10)

2.         Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) (13)
Prosedur yang dilakukan untuk mendiagnosa dan melihat kelainan-kelainan pada hati, kandung empedu, saluran-saluran empedu, dan pankreas, termasuk batu-batu empedu, penyempitan-penyempitan, peradangan, kebocoran (dari trauma dan operasi), dan kanker. ERCP menggabungkan penggunaan dari sinar-x dan endoskop (tabung yang panjang, lentur dan dapat disinari). Melaluinya, dokter dapat melihat bagian dalam dari lambung dan duodenum dengan menyuntikkan kontras kedalam saluran-saluran empedu dan pankreas sehingga dapat difoto dengan sinar-x. ERCP memakan waktu 30 menit sampai 2 jam. Kemungkinan komplikasi-komplikasi dari ERCP termasuk pankreatitis (peradangan pankreas), infeksi, sepsis, perdarahan, dan perforasi duodenum.
Untuk prosedur, pasien berbaring pada sisi kiri diatas meja pemeriksaan dalam rontgen. Obat diberikan untuk membantu mematikan rasa belakang tenggorokan dan obat penenang biasanya diberikan untuk menenangkan pasien selama pemeriksaan. Pasien menelan endoskop, dan dokter kemudian memandu skop melalui esofagus, lambung, dan duodenum mencapai tempat dimana saluran-saluran dari traktus biliaris dan pankreas membuka kedalam duodenum. Pada saat ini, pasien dibalik dalam keaadan terlentang supaya keadaan lambung rata, dan dokter melewatkan tabung plastik kecil melalui skop. Melalui tabung, dokter akan menyuntikan kontras kedalam saluran-saluran untuk membuat mereka tampak dengan jelas bila di sinar. Foto sinar-x segera diambil setelah kontras disuntik oleh dokter.

Gambar 3. Gambar sebelah atas adalah gambar dari sonogram yang  menunjukkan atresia biliaris dengan kista di sentral.  Manakala gambar sebelah bawah menunjukkan pengisian dari kontras ke dalam kista dan duktus intrahepatika yang berdilatasi tanpa berhubungan dengan duodenum. (13)


3.                  MRCP (Magnetic resonance cholangiopancreatography) (13)
            MRCP adalah merupakan teknik Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang relatif baru dan dapat memberikan hasil atau imejing traktus biliaris, duktus pankreatikus dan kandung empedu tanpa memakai kontras media, tidak invasive dan tanpa radiasi. MRCP diperkenalkan sejak tahun 1991 dan penggunaannya pada evaluasi penyakit pankreatobiliaris terus berkembang, begitu juga teknik MRCP yang semakin baik untuk mendiagnosa penyakit-penyakit tersebut.
            Pada pemeriksaan MRCP juga tidak akan menyebabkan komplikasi seperti yang terjadi pada ERCP misalnya sepsis dan pancreatitis. MRCP dapat melihat dengan jelas anatomi dari duktus biliaris dan duktus pankreatikus beserta variasi normal dari duktus tersebut. Keunggulan MRCP adalah dapat menghindari sepsis yang terjadi pada ERCP sehubungan dengan penyuntikan kontras ke dalam daerah obstruksi.

Gambar 5.a

Gambar 5.b
5. Gambar didapat dari bayi umur 57 hari dengan jaundice .
a) Oblique coronal T2-weighted single-shot fast SE MR cholangiogram (∞/1,189 [effective]) demonstrates an inverted triangular area of high signal intensity (arrow) and a normal gallbladder (arrowheads).
b) Oblique coronal thick-slab MR T2-weighted single-shot fast SE MR cholangiogram (∞/1,100 [effective]) shows a choledochal cyst (short arrow) and the gallbladder (arrowheads). The triangular area of high signal intensity (long arrow) located in the porta hepatis is not continuous with the choledochal cyst or gallbladder. Intraoperative cholangiogram (not shown) demonstrated a choledochal cyst, but the triangular structure at the porta hepatis was not visualized. (13)

4.            Sintigrafi hati (9)                                                                                                                  
                     Sintigrafi hepatobilier adalah suatu studi pencitraan radionuklir yang mengevualasi fungsi hepatoseluler dan patensi dari sistem biliaris dengan mengikuti aliran dari produksi kandung empedu dari hepar sampai ke usus kecil.

Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m mempunyai 
akurasi diagnostik sebesar 98,4% (9). Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier (6,9). Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4% (9)

a)      Sintigrafi hati serta sistem biliaris, menggunakan Tc-99m IDA. Tidak tampak gangguan atau sumbatan pada aliran empedu. Setlah 30 menit terlihat aktifitas pada kandung empedu.
b)       Isotop yang digunakan adalah Tc-99m mebrofenin i.v. Sekuel gambaran pengambilan isotop oleh hepar yang diperolehi setelah 60 menit setelah injeksi isotop. Dapat dilihat tiada eksresi isotop ke dalam system biliaris atau usus kecil. (9)

DAFTAR PUSTAKA

1. Desmet VJ, Callca F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. In:Zakim, Boyer, Hepatology. A textbook of liver diseases. Philadelphia/Tokyo: Saunders 1990

2. Howard ER. Biliary atresia - complications and results of non-transplant surgery. In: Lentze, Reinchen: Falk symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to treatment. Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 1991

3. Toeni RF, Goldberg HI. Radiologic evaluation of disorders of the liver and biliary system. In: Zakim, Boyer, Hepatology. A textbook of liver diseases.Philadelphia: Saunders 1990

4. Torrisi JM, Haller JO, Velcek FT. Choledochal cyst and biliary atresia in the neonate: imaging findings in five cases. Am J Roentgenol 1990

5. Wood RP, Langnas AN, Stratta RJ, Pillen TJ, Williams L, Lindsay S,Meiergerd D, Shaw BW. Optimal therapy for patients with biliary atresia:Portoenterostomy ("Kasai" procedures) versus primary transplantation. J.Pediatr Surg 1990

6. “Anatomi hati dan kandung empedu”. Artikel diunduh dari http://www.jevuska.com/=gambar+anatomi+kantong+empedu

7. Dr. Parlin Ringoringo, “Atresia Bilier”, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universotas Indonesia, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, , 1990. Jurnal diunduh dari www.kalbe.co.id/masalah anak/atresia bilier.

8. Myung-Joon Kim, MD,dkk “Biliary Atresia in Neonates and Infants: Triangular Area of High Signal Intensity in the Porta Hepatis at T2-weighted MR Cholangiography with US and Histopathologic Correlation”, RSNA 2007. Jurnal diunduh dari http://radiology.rsna.org/content/215/2/395.full

9. “Society of Nuclear Medicine Procedure Guideline for Hepatobiliary Scintigraphy”. Artikel diunduh dari http://www.nucmedinfo.com/Pages/gastrointestinal.html

10. Hee Jung Lee, MD, dkk “Objective Criteria of Triangular Cord Sign in Biliary Atresia on US Scans”, RSNA 2007. Jurnal diunduh dari http://radiology.rsna.org/content/215/2/395.full

11. “Biliary Atresia”. Artikel diunduh dari http://www.totalkesehatananda.com

12. “Atresia Biliaris”,. Artikel diunduh dari http://medicastore.com/penyakit_kategori/1/index.html

13. MRCP ( magnetic resonance cholangiopancreatography). Artikel diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Magnetic_resonance_cholangiopancreatography

14. “Ultrasonografi medis (USG)”. Artikel diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ultrasonografi_medis













Sunday 26 December 2010

Ilmu Kesehatan Anak - Kejang Demam (Case)

PRESENTASI KASUS
KEJANG DEMAM SEDERHANA
PEMBIMBING:
PROF. DR. WIDAGDO SP.A

DISUSUN OLEH:
NUR RASHIDAH BT MOHD RASHID
030.04.269

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
PERIODE 8 JUNI 2009 – 15 AGUSTUS 2009
RSUD BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JULI 2009



STATUS PASIEN

I.                   IDENTITAS
Nama pasien    : An. M. F
Jenis kelamin   : Laki-laki
Agama             : Islam
Alamat rumah : No. 28, Kebon Nanas Selatan
Umur               : 4 tahun
Pendidikan      : Belum bersekolah
Orang tua/ Wali:
Ayah:
Nama               :Tn. B
Agama             : Islam
Alamat             : No. 28, Kebon Nanas Selatan
Pekerjaan         : Pekerja swasta
Penghasilan     : Rp 2,000,000
Ibu:
Nama               : Ny. M
Agama             : Islam
Alamat                        : No. 28, Kebon Nanas Selatan
Pekerjaan         : Ibu rumah tangga
Penghasilan     : -
Hubungan dengan orang tua: Anak kandung
Suku bangsa    : Jawa

II.                RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan utama:
Kejang sejak 30 menit SMRS
Keluhan tambahan:
Demam 1 hari SMRS
Riwayat perjalanan penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kejang sejak 30 menit SMRS. Sehari sebelum masuk rumah sakit ibu pasien mengatakan anaknya demam. Demamnya mendadak, selalu tinggi, malamnya mengigau, rewel, tidak menggigil dan tidak berkeringat dingin.
Besok paginya pasien masih demam tinggi dan ibu pasien membawa pasien berobat ke puskesmas lalu diberi obat puyer penurun panas. Panasnya turun sebentar namun tinggi lagi setelah beberapa jam. Kurang lebih 30 menit SMRS pasien mengalami kejang dengan durasi kurang dari 1 menit. Waktu kejang badan pasien kaku, mata mendelik ke atas tetapi tidak keluar busa dari mulut. Sehabis kejang pasien langsung menangis lalu ibu pasien membawa pasien ke rumah sakit.
Pasien tidak pilek, tidak sakit tenggorokan, tidak mual dan muntah, tidak diare dan tidak ada riwayat trauma pada kepala. Menurut ibu pasien, ini adalah kali ke-5 pasien mengalami kejang. Dulunya waktu umur 1 tahun, 1 ½ tahun dan 3 tahun pasien pernah kejang-kejang. Kejangnya selalu didahului demam, pasien kaku waktu kejang dengan mata mendelik ke atas, tidak keluar busa dari mulut dan durasi kejangnya selalu kurang dari 1 menit. Setelah kejang pasien selalu menangis. Selama ini ibu pasien hanya membawa pasien ke puskesmas bila kejang dan tidak pernah dirawat di rumah sakit. Kakak pasien juga mempunyai riwayat kejang sewaktu kecil.

III.             RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
Kehamilan
Morbiditas                   : Selama kehamilan ibu sehat
Perawatan antenatal    : Ibu berkunjung untuk ANC 2x selama kehamilan

Kelahiran
Tempat kelahiran         : Rumah Sakit
Penolong persalinan    : Dokter
Cara persalinan            : Spontan
Masa gestasi                : Cukup bulan
Keadaan bayi              : Berat lahir: 3000 g
                                      Panjang: 49 cm
                                      Lingkar kepala: Ibu lupa
                                      Bayi setelah dilahirkan langsung menangis
                                      Nilai Apgar: 10
                                      Tiada kelainan bawaan pada saat dilahirkan
IV.             RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I       5   bulan
Psikomotor
-Tengkurap                    :   6   bulan
-Duduk                           : 10 bulan
-Berdiri                          : 11 bulan
-Berjalan                        : 13 bulan
-Bicara                           : 13 bulan
-Membaca & Menulis     :  -   


 Perkembangan pubertas  
-Rambut pubis              : - tahun
-Payudara                      : - tahun
-Menarche                     : - tahun
V.                RIWAYAT MAKANAN
Umur(bulan)
ASI/PASI
Buah/biskut
Bubur susu
Nasi tim
0-2
+
2-4
+
          +
4-6
+
          +
         +
6-8
           +
          +
         +
         +
10-12
+
+
+
         +

Umur di atas 1 tahun    
              
Jenis Makanan
Frekuensi dan Jumlah
Nasi / Pengganti
3 x sehari / 1 piring
Sayur
1 x sehari
Daging
1 x sehari
Telur
1 x 2 hari
Ikan
1 x 2 hari
Tahu
Jarang
Tempe
Jarang
Susu (merk / takaran )
Dancow 3 x sehari
Lain-lain
-
           



















VI.             RIWAYAT IMUNISASI
BCG                            : 0 bulan
DPT/DT                      : + 3 kali, ibu lupa umur berapa
Polio                            : + 3 kali, ibu lupa umur berapa
Hepatitis B                  : + 3 kali, ibu lupa umur berapa
Campak                       : + 1 kali, ibu lupa umur berapa
Kesimpulan riwayat imunisasi : lengkap, Scar BCG +

VII.          RIWAYAT KELUARGA
A.    Corak Reproduksi
1.      9 thn. Laki-laki . Lahir hidup. Kesehatan baik. Kakak pasien

2.      4 thn. Laki-laki. Lahir hidup. Sedang dirawat. Pasien


B.     Riwayat Pernikahan
Ayah/wali
Ibu/wali
Nama
Bagus
Mamik
Perkahwinan ke
1
1
Umur saat menikah
26
25
Pendidikan terakhir
SMA
SMA
Agama
Islam
Islam
Suku bangsa
Jawa
Jawa
Keadaan kesehatan
Sehat
Sehat
Kosanguinitas
Tiada
Tiada
Penyakit
Ayah sehat
Riawat sakit maag

Riwayat keluarga orang tua pasien

Ayah pasien sehat dan tidak mempunyai riwayat penyakit. Ibu pasien mempunyai riwayat penyakit maag.
Riwayat anggota keluarga lain yang serumah

Kesehatan anggota keluarga baik.

       VIII.RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN

Perumahan                  : Milik sendiri

Keadaan rumah           : Bersih, terang, cukup luas, satu kamar dua orang

Daerah/lingkungan      : Bersih, padat



       XI. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA

Penyakit
Umur
Penyakit
Umur
Penyakit
Umur
Alergi
Difteria
Penyakit Jantung
Cacingan
Diare
Penyakit Ginjal
Demam Berdarah
Kejang
1 thn, 1½ thn, 3 thn
Penyakit Darah
Demam Tifoid
Kecelakaan
Radang Paru
Otitis
Morbili
Tuberkulosis
Parotitis
Operasi
Lain-lain,



Kesimpulan riwayat penyakit dahulu:
Pasien pernah kejang waktu umur 1 tahun sebanyak 1 kali dengan durasi kurang dari 1 menit yang didahului dengan demam. Waktu umur 1 ½ tahun pasien kejang lagi sebanyak 2 kali dalam sehari dengan durasi kurang dari 1 menit juga didahului dengan demam. Waktu umur 3 tahun pasien kejang lagi sebanyak 1 kali dalam sehari yang didahului dengan demam dan durasi kejangnya kurang dari 1 menit.

X. PEMERIKSAAN FISIS
 
Tanggal                       : 29 Juni 2009

Pukul                           : 08.00

Keadaan umum:
Keadaan Sakit             : Sakit Sedang
Kesadaran                   : Compos Mentis
Status Gizi                  : Cukup
Data antropometri:
Berat Badan                : 18 Kg
Tinggi Badan              : 106 Cm
Tanda vital:
Frekuensi Nadi            : 124 x/Menit
Frekuensi Nafas          : 24 x/Menit
Suhu Tubuh                 : 39 oC
Kepala
Normocephali
Deformitas -
Ubun-ubun besar dan rata
Rambut:
Warna                          :Hitam
Kelebatan                    :Sedang
Distribusi Pertumbuhan: Merata
Mata:
Visus                           : +/+
Palpebra                      : oedema –
                                    : menutup dan membuka dengan baik
Konjungtiva tidak anemis
Sklera putih
Kornea jernih

Pupil                            : bentuk bulat
  isokor
  refleks cahaya langsung +/+
                                      refleks cahaya tidak langsung +/+
                                      diameter 3 mm
Lensa jernih
Gerakan kedua bola mata baik.
Telinga:
Daun dan liang telinga:bentuk, besar, posisi normal
Mastoid                       :tidak ada nyeri tekan
Hidung:
Bentuk normal,simetris
Tidak ada sekret  
Tidak ada epistaksis
Bibir:
Simetris
Tidak kering
Mukosa warna kemerahan
Mulut:
Bentuk dan ukuran normal
Mukosa pipi kemerah merahan
Warna gusi normal merah jambu
Arkus palatum normal, tidak ada paresis
Lidah:
Warna merah
Tidak kotor
Ukuran normal
Tonsil
Ukuran T1-T1
Tenang tidak hiperemis

Tenggorokan
Tidak ada stridor
Leher
Ukuran                                    : pendek
Pulsasi vena                 : tidak tampak
Tortikolis tiada
Tidak ada kaku kuduk
Tidak ada massa di leher
Kelenjar tiroid             : ukuran, bentuk, posisi, konsistensi, permukaan normal, tidak ada nyeri, tidak ada pembesaran
Toraks:
toraks depan                : bentuk simetris
 pada saat pernafasan dinding dada bergerak ke atas dan ke luar
 tiada deformitas, tiada penonjolan, tiada pembengkakan
 areola mammae tumbuh, warna kecoklatan, tiada kelainan kulit
toraks belakang           : vertebra lurus di tengah
                                     tiada benjolan
                                     tiada retraksi pernafasan
                                     pernafasan simetris
 nyeri ketok -/-
                                     nyeri tekan -/-
                                     
Jantung:
Inspeksi                       : tidak terlihat denyutan iktus cordis
Palpasi                         : teraba denyutan iktus cordis pada ICS V linea midclavicula kiri
Perkusi                        : nyeri ketok -/-
                                    batas jantung kiri ICS IV sedikit lateral midclavicula kiri
Ausklultasi                  : BJ I BJ II reguler
                                     murmur –
                                     gallop -
                       
Paru-paru :
Inspeksi                       : pernafasan sisi simetris abdomino torakal
Palpasi                         : vokal fremitus simetris
                                      krepitasi subkutis –
Perkusi                        : sonor simetris
                                      nyeri ketok -/-
Auskultasi                   : suara nafas vesikuler
                                      ronchi -/-
                                      wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi                       : simetris, datar
                                     dilatasi vena –
gerakan dinding perut abdomen lebih daripada gerakan dinding dada
Palpasi                         : supel
tiada nyeri tekan atau lepas
                                    Defans musculair –
                                     hati dan lien tidak teraba membesar
Perkusi                        : timpani seluruh abdomen
 ascites -  
Auskultasi                   : bising usus + normal

Genitalia:
Genitalia eksterna berkembang dengan baik
Belum ada tanda tanda seks sekunder
Kelenjar getah bening:
KGB oksipital             :tidak teraba membesar
KGB retroaurikuler     :tidak teraba membesar
KGB servikal              : tidak teraba membesar
KGB inguinal              : tidak teraba membesar
Ekstremitas:
Panjang dan bentuk normal
Kiri dan kanan sama panjang
Tiada kelainan kongenital
Tiada nyeri tekan, jari tabuh
Tiada gangrean atau nekrosis
Gerakan otot baik
Tonus otot baik
Tiada peradangan, nyeri atau keterbatasan gerakan sendi
Tiada oedema
Akral dingin  -
Tulang belakang
Postur-tiada lordosis, kifosis, skoliosis atau gibbus
Gerakan tulang belakang normal
Tiada massa
Tiada nyeri tekan
Susunan saraf
refleks fisiologis positif
refleks patologis          : refleks babinsky -
                                     kaku kuduk -
                                     perasat Brudzinski I -
                                     perasat brudzinski II -
                                     perasat Kernig -
                                     tanda tetani –
uji sensibilitas :
                                    uji sentuhan baik
                                    uji rasa nyeri baik
                                    uji perasaan vibrasi baik
                                    uji posisi baik
                                    uji koordinasi baik
Pemeriksaan saraf cranialis nervus I hingga XII baik

Kulit:
Sianosis –
Anemis -
Turgor baik
Hiperpigmentasi –
Hipopigmentasi –
Luka –
Benjolan –
Kelembapan normal
Tekstur halus
Petekiae –

    XI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah tepi :

Hb                               : 11,1 g/dl
Ht                                : 35 %
Leukosit                      : 9500 / mm3
Trombosit                    : 241 000 / mm3
Pemeriksaan elektrolit :
Natrium                       : 139 mmol
Kalium                         : 4,4 mmol
Klorida                        : 110 mmol
Glukosa sewaktu         : 104

Pemeriksaan tinja lengkap:
Tanggal 1 Juli 2009
makroskopis :
Warna: coklat
Konsistensi: lunak
Lendir: negatif
Darah: negatif
Mikroskopis:
Leukosit : negatif
Eritrosit : negatif
Entamoeba coli : negatif
Entamoeba histolitika : negatif
Telur cacing : negatif
Pencernaan :
Lemak : negatif
Amilum : negatif
Serat : positif
Pemeriksaan urine lengkap:
Tanggal 2 Juli 2009
Warna : kuning
Kejernihan : jernih
Glukosa : negatif
Bilirubin : negatif
Keton : negatif
BJ : 1005
pH : 6.5
Albumin : negatif
Urobilinogen : 0.2 UE/dl
Nitrit : negatif
Darah samar : negatif
Esterase lekosit : negatif
Sedimen
Leukosit 0.1 LPB
Eritrosit 0.1 LBP
Epitel : positif
Silinder : negatif
Kristal : negatif
Bakteri : negatif
Jamur : negatif

      XII. RINGKASAN

Pasien datang dengan keluhan kejang sejak 30 menit SMRS. Kejang kurang dari 1 menit, mata mendelik ke atas, badan kaku, sadar dan menangis sehabis kejang.  Demam + sejak 1 hari SMRS. Demam mendadak, selalu tinggi, mengigau, menggigil - , berkeringat dingin -. Riwayat kejang + sebanyak 4 kali waktu umur 1 tahun, 1 ½ tahun dan 3 tahun. Kejang selalu didahului demam dengan durasi kurang dari 1 menit. Riwayat kejang dalam keluarga +.  
Pada pemeriksaan fisik ditemukan febris dengan suhu 39 C
Pada pemeriksaan lab darah rutin ditemukan Hb yang rendah dengan nilai 11,1 g/dl dan hematokrit yang rendah dengan nilai 35%. Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan kadar klorida darah yang sedikit tinggi dengan nilai 110 mmol.

       XIII. DIAGNOSIS BANDING
            Kejang demam sederhana e.c infeksi bakteri
Anemia
Diare akut
            Kejang demam kompleks
            Ensefalitis

       XIV. DIAGNOSIS KERJA

            Kejang demam sederhana e.c infeksi bakteri
Anemia
Diare akut

       XV. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
           
Pemeriksaan darah rutin
            Pemeriksaan urine feces lengkap
            Pemeriksaan EEG
           
       XVI. PENATALAKSANAAN

            Medikamentosa :
            Ampicillin i.v 4 x 400mg
            Paracetamol tab 4 x 200 mg
            Luminal i.m 2 x30 mg
            Non medikamentosa :
            Kompres air hangat bila panas
           
     
       XVII. PROGNOSIS

Ad vitam          : bonam
Ad functionam  : bonam
Ad sanationam  : bonam

XVIII. PENCEGAHAN
Pencegahan Kejang Demam
a). Pencegahan Kejang Demam di Rumah Oleh Keluarga
Yang perlu diketahui masyarakat dalam mencegah kejang akibat demam adalah tindakan untuk menghadapi demam yang tinggi agar kejang tidak terjadi yaitu :
Buka baju anak yang demam
- Kompres dengan air hangat.
- Banyak minum air putih.
- Cari pertolongan kepada dokter.
- Anak jangan dibungkus dengan kain selimut karena akan menyebabkan demam makin tinggi dan kemungkinan kejang terjadi semakin besar.
- Jika terjadi kejang, beri pengganjal pada giginya supaya lidah tidak tergigit.
b). Pencegahan Terhadap Berulangnya Kejang Oleh Dokter
Pencegahan berulangnya kejang demam dilakukan karena bila sering berulang akan menyebabkan kerusakan otak yang menetap.
Ada 2 cara pencegahan yaitu :
1. Pencegahan kejang waktu demam terjadi
Obat anti kejang hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orang tua pasien atau pengasuh mengetahui cepat adanya demam pasien.
2. Pencegahan kejang terus menerus dengan obat anti kejang tiap hari.
Pencegahan secara terus menerus dengan obat anti kejang berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Adapun obat antikonvulsan yang diberikan adalah asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari atau phenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan satu tahun.

FOLLOW UP

Tanggal
Temuan ( anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium/penunjang)
Penatalaksanaan
29.6.09
Demam +, mencret 2x cair,ampas +, pusing +, kejang –
KU/KS: SS/CM
N: 124x/mnt
S: 37,8C
P: 28x/mnt
Kepala: normocephali
Mata: CA-/-, SI-/-
Hidung: normosepta
Mulut: bibir kering(-), lidah kotor (-)
Telinga: normotia
Leher: KGB ttm
Thoraks: simetris saat statis dan dinamis
Cor: BJ I-II reg, M (-), G (-)
Pulmo: Sn vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, timpani, BU (+) N
Ektremitas: akral hangat


Ampicillin i.v 4 x 400 mg
PCT tab 4 x 200 mg
Luminal 2 x 30 mg

30.6.09
Demam +, mencret 3x, ampas +, warna coklat, kejang –
KU/KS: SR/CM
N: 140 x/mnt
S: 37,8C
P: 24 x/mnt
Kepala: normocephali
Mata: CA-/-, SI-/-
Hidung: normosepta
Mulut: bibir kering(-), lidah kotor (-)
Telinga: normotia
Leher: KGB ttm
Thoraks: simetris saat statis dan dinamis
Cor: BJ I-II reg, M (-), G (-)
Pulmo: Sn vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, timpani, BU (+) N
Ektremitas: akral hangat
Ampicillin i.v 4 x 400 mg
PCT tab 4 x 200 mg
Luminal 2 x 30 mg

1.7.09
Demam +, BAB lembek 3x, kembung +, kejang –
KU/KS: SR/CM
N: 140 x/mnt
S: 37,9 C
P: 24x/mnt
Kepala: normocephali
Mata: CA-/-, SI-/-
Hidung: normosepta
Mulut: bibir kering(-), lidah kotor (-)
Telinga: normotia
Leher: KGB ttm
Thoraks: simetris saat statis dan dinamis
Cor: BJ I-II reg, M (-), G (-)
Pulmo: Sn vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: datar, tegang, hepar dan lien tidak teraba, timpani, BU (+) meningkat
Ektremitas: akral hangat
Lab:
Tinja
makroskopis :
Warna: coklat
Konsistensi: lunak
Lendir: negatif
Darah: negatif
Mikroskopis:
Leukosit : negatif
Eritrosit : negatif
Entamoeba coli : negatif
Entamoeba histolitika : negatif
Telur cacing : negatif
Pencernaan :
Lemak : negatif
Amilum : negatif
Serat : positif



Ampicillin i.v 4 x 400 mg
PCT tab 4 x 200 mg
Luminal 2 x 30 mg
Pemeriksaan urine lengkap
Pemeriksaan faeces lengkap
Pemeriksaan darah lengkap
2.7.09
Demam -, BAB sudah keras, kembung -, batuk +, pilek +, tadi malam sempat demam
KU/KS: SR/CM
N: 168 x/mnt
S: 36.2C
P: 24 x/mnt
Kepala: normocephali
Mata: CA-/-, SI-/-
Hidung: normosepta
Mulut: bibir kering(-), lidah kotor (-)
Telinga: normotia
Leher: KGB ttm
Thoraks: simetris saat statis dan dinamis
Cor: BJ I-II reg, M (-), G (-)
Pulmo: Sn vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, timpani, BU (+) N
Ektremitas: akral hangat
Lab:
Hb  9.8 g/dl
Ht  31%
Trombosit  151 000/mm3
Leukosit  2700/mm3
LED 10
Eritrosit 4.2 juta/mm3
Urine lengkap
Warna : kuning
Kejernihan : jernih
Glukosa : negatif
Bilirubin : negatif
Keton : negatif
BJ : 1005
pH : 6.5
Albumin : negatif
Urobilinogen : 0.2 UE/dl
Nitrit : negatif
Darah samar : negatif
Esterase lekosit : negatif
Sedimen
Leukosit 0.1 LPB
Eritrosit 0.1 LBP
Epitel : positif
Silinder : negatif
Kristal : negatif
Bakteri : negatif
Jamur : negatif

Ampicillin i.v 4 x 400 mg
PCT tab 4 x 200 mg
Luminal 2 x 30 mg
Pemeriksaan darah lengkap
3.7.09
Demam -, sempat demam tadi malam, batuk + tapi jarang, pilek -, belum BAB
KU/KS : SR/CM
N: 110x/mnt
S: 37.1C
P: 20x/mnt
Kepala: normocephali
Mata: CA-/-, SI-/-
Hidung: normosepta
Mulut: bibir kering(-), lidah kotor (-)
Telinga: normotia
Leher: KGB ttm
Thoraks: simetris saat statis dan dinamis
Cor: BJ I-II reg, M (-), G (-)
Pulmo: Sn vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, timpani, BU (+) menurun
Ektremitas: akral hangat
Lab:
Hb 10.1 g/dl
Ht  32.2%
Trombosit 134 000 mm3
Leukosit 2800 mm3

Ampicillin i.v 4 x 400 mg
PCT tab 4 x 200 mg
Luminal 2 x 30 mg

4.7.09
Demam -, batuk -, pilek -, belum BAB sejak 2 hari
KU/KS : SR/CM
N: 116 x/mnt
S : 36.1C
P : 24 x/mnt
Kepala: normocephali
Mata: CA-/-, SI-/-
Hidung: normosepta
Mulut: bibir kering(-), lidah kotor (-)
Telinga: normotia
Leher: KGB ttm
Thoraks: simetris saat statis dan dinamis
Cor: BJ I-II reg, M (-), G (-)
Pulmo: Sn vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, timpani, BU (+) N
Ektremitas: akral hangat

Pasien boleh pulang
PCT 4 x 200 mg
Luminal 2 x 30 mg

  
TINJAUAN PUSTAKA

Kejang demam

Definisi:

Kejang Demam (FC) ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 °C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium[1].
Kejang Demam tidak disertai infeksi susunan saraf pusat (SSP) atau berupa gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak diatas usia 1 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.  Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
Terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Insiden tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 15 tahun mengalami kejang didahului demam, ada kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.

Klasifikasi :
  • Kejang Demam Sederhana (Simple febrile convulsion)
  • Kejang Demam Kompleks (Complex febrile convulsion)


Kejang demam sederhana.
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.

Kejang demam kompleks.
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :
  1. Kejang lama >15 menit.
  2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
  3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang lama dalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.[2]

Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului dengan kejang parsial.[3]

Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.[4]


Langkah Diagnostik.

Anamnesis [5]:
  • Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum /saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat.
  • Riwayat perkembangan kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga.
  • Singkirkan penyebab kejang yang lainnya.

Pemeriksaan Fisik :
  • Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda peningkatan tekanan intrakranial, tanda infeksi diluar SSP.

Pemeriksaan Penunjang :

  1. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang demam atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan dapat meliputi: darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, serum kalsium, fosfor, magnesium, ureum, kreatinin, urinalisis, biakan darah, urin, feses.

  1. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebro spinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% - 6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
    1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
    2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan.
    3. Bayi >18 bulan tidak rutin (jika dicurigai menderita meningitis).
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

  1. Pencitraan
Pemeriksaan imaging (CT scan atau MRI) dapat diindikasikan pada keadaan :
    1. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
    2. Kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastik).
    3. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior membonjol, paresis nervus VI, papiledema) atau kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis).

  1. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG dipertimbangkan pada kejang demam tidak khas /atipikal, misalkan kejang demam kompleks.pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
Prognosis :

Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.

Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Kemungkinan berulangnya kejang demam[6]
Kejang demam akan berulang kembali pada sebgaian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah:
  1. Riwayat kejang demam dalam keluarga.
  2. Usia kurang dari 12 bulan.
  3. Temperatur yang rendah saat kejang.
  4. Cepatnya kejang setelah demam.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulang kejang demam adalah 10% - 15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

Faktor resiko terjadinya epilepsi[7]
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
  1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
  2. Kejang demam kompleks.
  3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
Masing masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4% - 6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10% - 49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.
Penatalaksanaan

Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada bagan tata-laksana penghentian kejang. (lihat bagan). Profilaksis intermiten pada saat demam berupa:

  • Anti-piretik.
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan adalah mencegah demam meningkat. Pemberian obat penurun panas asetaminofen 10-15 mg/kgBB/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam.

  • Anti-kejang.
Diberikan diazepam oral 0,3 mg/kgBB/hari tiap 8 jam saat demam atau diazepam rektal 0,5 mg/kgBB/hari tiap 8 jam bila demam diatas 38°C.

  • Profilaksis jangka panjang.
Pengobatan jangka panjang kejang demam diberikan bila ada >1 keadaan berikut:
1.      Kejang demam lebih dari 15 menit.
2.      Adanya defisit neurologis yang jelas baik sebelum maupun sesudah kejang (misalkan palsi cerebral, retardasi mental atau mikrosefal).
3.      Kejang demam fokal.
4.      Adanya riwayat epilepsi dalam keluarga.
5.      Dipertimbangkan apabila:
a.       Kejang demam pertama pada umur dibawah 12 bulan.
b.      Kejang berulang dalam 24 jam.
c.       Kejang demam berulang (> 4 x per tahun)
Adapun obat antikonvulsan yang diberikan adalah asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari atau phenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan satu tahun.

Lama pengobatan rumatan
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.

Edukasi pada orang tua[8]
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian orang tua menganggap bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
  1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis yang baik.
  2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
  3. memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
  4. pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Rujukan
Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut:
  • Kejang demam kompleks.
  • Hiperpireksia (suhu rektal > 39°C).
  • Usia dibawah 6 bulan.
  • Kejang demam pertama.
  • Dijumpai kelainan neurologis.

                                                      DAFTAR PUSTAKA

1.      Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Febrile Seizures, Nelson textbook of Pediatrics, 17th Edition, Philadelphia: WB Saunders company, 2004.
2.      Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S, Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2006.
3.      Akib A dr, Kejang Demam, Panduan Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: RSCM 2005
5.      Goldenring MD MPH, Febrile Seizures, website http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm accessed Maret 2006.
6.      Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Kejang Demam, Buku kuliah Ilmu Kesehatan Anak, jilid 2, Jakarta, Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia, 1985, 847-55.
7.      Febrile Seizure,. website http://www.mayoclinic.com/health/febrile_seizures/DS00346/DSECTION=10 accessed Maret 2006.
8.      Macnair T, Febrile Convulsions, website http://www.bbc.co.uk/health/conditions/febrileconvulsions2.shtml-38k accessed Maret 2006.